iklan

Rabu, 17 April 2013

Jogja hari ini

Aku sedang berada di perjalanan pulang ke kosan, setelah makan malam bersama teman-temanku, sendirian. Pikiranku mulai melayang, ketika aku menyadari kalau belakangan ini, atau memang sejak aku sampai disini pertama kali, langit Jogja terlalu kosong. Tak ada satupun bintang muncul disana. Gelap. Hitam. Berbeda sekali dengan langit Gorontalo yang bertabur bintang. Melihat kelap-kelip dari teras rumah sungguh mengasyikkan.

Langit yang gelap, berbanding terbalik dengan keadaan di bawah sini, di bumi tempat aku berpijak sekarang. Lampu-lampu jalanan yang terang, kendaraan yang lalu lalang tanpa peduli dengan pejalan kaki yang kadang harus menunggu sangat lama untuk bisa menyeberang jalan, karena para pengguna jalanan itu tidak mau mengalah kepada pejalan kaki.

Deretan toko sepanjang perjalananku pulang sudah banyak yang ditutup, tanpa melihat jam pun aku sudah tahu kalau itu sudah cukup malam. Tapi mataku sedang ingin menikmati pemadangan yang selama beberapa bulan ini selalu kuabaikan, baik karena aku tidak peduli, atau karena aku pulang naik taksi. Si penjual keranjang pakaian handmate yang entah sejak jam berapa dan berakhir jam berapa duduk di trotoar persimpangan jalan, mengharapkan ada yang mau membeli keranjang-keranjang tersebut di jam-jam seperti ini. Mencoba mengabaikan kalau sekarang banyak sekali keranjang-keranjang dari bahan plastik yang lebih praktis, yang jauh lebih murah dari harga yang ditawarkan keranjang handmade.

Rumah makan padang, yang baru kusadari buku 24 jam setelah membaca palang super besar di depan tempat makan itu, sementara aku Cuma tahu kalau itu rumah makan padang, yang enak, dan selalu ramai. Tempat nongkrong yang semakin malam semakin rame, berderetan di sepanjang jalan menuju kosku. Semacam tempat ngopi-ngopi dengan merek luar, yang tempatnya terlihat nyaman. Bersebelahan dengan tempat makan tradisional yang tidak kalah ramainya, karena harganya yang tergolong murah dan menyajikan makanan yang enak.

Counter pulsa juga masih terlihat ramai. Aku tidak tahu pasti apakah counter itu buka 24 jam, atau sedang menunggu para pelanggannya selesai mengisi pulsa dan kemudian tutup. Entahlah, aku tidak tahu, dan tidak begitu ingin tahu.

Simpang mumet sudah di depan mata. Dinamakan mumet, karena jalanan ini benar-benar membuat orang pusing. Ini bukan perempatan, karena ada banyak sekali jalan yang bisa dipilih, belok ke kiri lurus, atau belok sedikit kiri dan lurus, atau belok kanan, atau bahkan berbalik arah. Entahlah, disini ada aturan jalanan satu arah. Biasanya simpang mumet dimeriahkan oleh si bapak-bapak gendut yang berjualan roti disana. Rasanya enak, aku pernah mencoba makanan roti di tempat lain, tapi rotinya menurutku yang paling enak. Malam ini sepertinya bapak-bapak gendut itu absen, mungkin sedang banyak urusan.

Dan Finally, aku sudah berada di jalan menuju kosku. Ada pemandangan baru di depan kos, sebuah tikar tergelar, dan ada dua pasangan sedang duduk dengan santainya disana. Sepertinya burjo sebelah masih ramai. Burjo dekat kosanku, memang selalu ramai. Banyak alasan para mahasiswa dan mahasiswi memilih menghabiskan malam di burjo, ada yang mengerjakan tugas karena kosannya punya jam malam sementara tugasnya harus segera dikerjakan dan itu tugas kelompok yang mengharuskan cewek dan cowok berbaur, sementara disini kosan cewek dan kosan cowok itu terpisah. Ada yang sekedar menunggu bola karena di kosan tidak punya tv. Ada yang sekedar mau nongkrong saja. Ada yang memang lapar, dan banyak sekali alasannya.

Pada intinya, Langit Jogja gelap karena disini, di buminya ada berjuta lampu yang menyilaukan. Kalau langit dan bumi sama-sama terang, kita harus menyipitkan mata untuk bisa menikmati keduanya. Jadi biarkan satu bagian gelap, dan satunya terang, agar kita bisa menikmatinya sebagai satu kesatuan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar