Aku sedang berada di perjalanan pulang ke kosan,
setelah makan malam bersama teman-temanku, sendirian. Pikiranku mulai melayang,
ketika aku menyadari kalau belakangan ini, atau memang sejak aku sampai disini
pertama kali, langit Jogja terlalu kosong. Tak ada satupun bintang muncul
disana. Gelap. Hitam. Berbeda sekali dengan langit Gorontalo yang bertabur
bintang. Melihat kelap-kelip dari teras rumah sungguh mengasyikkan.
Langit yang gelap, berbanding terbalik dengan
keadaan di bawah sini, di bumi tempat aku berpijak sekarang. Lampu-lampu
jalanan yang terang, kendaraan yang lalu lalang tanpa peduli dengan pejalan
kaki yang kadang harus menunggu sangat lama untuk bisa menyeberang jalan,
karena para pengguna jalanan itu tidak mau mengalah kepada pejalan kaki.
Deretan toko sepanjang perjalananku pulang sudah
banyak yang ditutup, tanpa melihat jam pun aku sudah tahu kalau itu sudah cukup
malam. Tapi mataku sedang ingin menikmati pemadangan yang selama beberapa bulan
ini selalu kuabaikan, baik karena aku tidak peduli, atau karena aku pulang naik
taksi. Si penjual keranjang pakaian handmate yang entah sejak jam berapa dan
berakhir jam berapa duduk di trotoar persimpangan jalan, mengharapkan ada yang
mau membeli keranjang-keranjang tersebut di jam-jam seperti ini. Mencoba
mengabaikan kalau sekarang banyak sekali keranjang-keranjang dari bahan plastik
yang lebih praktis, yang jauh lebih murah dari harga yang ditawarkan keranjang
handmade.
Rumah makan padang, yang baru kusadari buku 24
jam setelah membaca palang super besar di depan tempat makan itu, sementara aku
Cuma tahu kalau itu rumah makan padang, yang enak, dan selalu ramai. Tempat
nongkrong yang semakin malam semakin rame, berderetan di sepanjang jalan menuju
kosku. Semacam tempat ngopi-ngopi dengan merek luar, yang tempatnya terlihat
nyaman. Bersebelahan dengan tempat makan tradisional yang tidak kalah ramainya,
karena harganya yang tergolong murah dan menyajikan makanan yang enak.
Counter pulsa juga masih terlihat ramai. Aku
tidak tahu pasti apakah counter itu buka 24 jam, atau sedang menunggu para
pelanggannya selesai mengisi pulsa dan kemudian tutup. Entahlah, aku tidak
tahu, dan tidak begitu ingin tahu.
Simpang mumet sudah di depan mata. Dinamakan
mumet, karena jalanan ini benar-benar membuat orang pusing. Ini bukan
perempatan, karena ada banyak sekali jalan yang bisa dipilih, belok ke kiri
lurus, atau belok sedikit kiri dan lurus, atau belok kanan, atau bahkan berbalik
arah. Entahlah, disini ada aturan jalanan satu arah. Biasanya simpang mumet
dimeriahkan oleh si bapak-bapak gendut yang berjualan roti disana. Rasanya
enak, aku pernah mencoba makanan roti di tempat lain, tapi rotinya menurutku
yang paling enak. Malam ini sepertinya bapak-bapak gendut itu absen, mungkin
sedang banyak urusan.
Dan Finally, aku sudah berada di jalan menuju
kosku. Ada pemandangan baru di depan kos, sebuah tikar tergelar, dan ada dua
pasangan sedang duduk dengan santainya disana. Sepertinya burjo sebelah masih
ramai. Burjo dekat kosanku, memang selalu ramai. Banyak alasan para mahasiswa
dan mahasiswi memilih menghabiskan malam di burjo, ada yang mengerjakan tugas
karena kosannya punya jam malam sementara tugasnya harus segera dikerjakan dan itu
tugas kelompok yang mengharuskan cewek dan cowok berbaur, sementara disini
kosan cewek dan kosan cowok itu terpisah. Ada yang sekedar menunggu bola karena
di kosan tidak punya tv. Ada yang sekedar mau nongkrong saja. Ada yang memang
lapar, dan banyak sekali alasannya.
Pada intinya, Langit Jogja gelap karena disini,
di buminya ada berjuta lampu yang menyilaukan. Kalau langit dan bumi sama-sama
terang, kita harus menyipitkan mata untuk bisa menikmati keduanya. Jadi biarkan
satu bagian gelap, dan satunya terang, agar kita bisa menikmatinya sebagai satu
kesatuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar