Hari ke-4 backpackeran kali ini adalah menuju tujuan utama backpackeran di part ini. Banda Neira. Kapalnya sih baru mulai
berlayar jam 2, tapi kami benar-benar siap untuk naik kapal. Sarapan dulu sih,
dimana lagi kalau bukan di Cafe Pelangi. Dah malas nyari yang baru, fokusnya
udah ke Banda aja hari itu. Hehe.
Check out, pesan taksi menuju pelabuhan, dan naik kapal Sangiang. Kali
ini kapalnya tidak sebesar Dobonsolo, dan jauh lebih teratur kalau menurut aku.
Tidak terlalu susah menemukan tempat kami, di dek 4 nomor 12 dan 13.
Kalau Dobonsolo banyakan isinya sama orang tua, kali ini isinya banyakan
kaum muda. Kaum muda ga tuh bahasanya. Mahasiswa gitu (aku tahu karena ada yang
masih pake almamater), keknya abis ada acara KKN Nusantara gitu gitu denger dari
obrolan mereka yang emang pas ngobrol suaranya lumayan keras sih.
Aku sempat keluar lihat pemandangan sebentar kemudian balik-balik Ririn
ngenalin orang yang katanya tour guide di Banda, lagi mau open tour. Dia
kebetulan janjian sama 2 cowok yang tempatnya di nomor 9 sama 11, yang mana
tentu saja deketan sama kami. Masih nungguin 3 orang juga dari Jakarta yang
katanya mau ikut tour beliau ini. Jadi ada 5, kalau kami berdua ikut, jadinya
ber-7.
Nah, ini kayaknya jadi masalah utama di sepanjang backpacker kali ini.
Karena mereka ber-6 adalah orang baru. Hamba yang introvertnya udah mulai ga
masuk akal ini, jelas sekali sebenarnya tidak ingin ikut sejak awal. Harganya
sih lumayan kalau dibagi 7, tapi kan sebenarnya kalaupun mau ikut open tour
ini, pas hopping Island aja sama kayak di Labuan Bajo kemarin bisa aja,
selebihnya kan bisa sendiri. Begitulah menurut kami berdua (aku sih lebih
pengennya gitu).
Dan satu kebetulan lagi, pas akhirnya 5 orang ini ngumpul plus si guide
ini, mereka kan baru mau bicarain tuh rencana mereka bakalan kemana aja selama
di Banda, nah saat itu kepalaku sakitnya minta ampun. Udah ku minumin obat
biasa yang aku minum tapi malah makin parah. Aku ga tahu kenapa malam itu
kepalaku tidak bekerja sama dengan baik, atau sebenarnya dia bekerja sama
dengan baik, karena dia ngerti aku emang ga pengen gabung open tour ini.
Jadi aku minta Ririn aja yang ikut rapat. Rapat lah ya namanya, meskipun
sepintas yang kulihat tuh Cuma 1 orang dari rombongan Jakarta, 2 orang yang di
9 dan 11 itu, si guide, dan Ririn. Meski samar-samar masih bisa ku dengar
obrolan mereka, karena mereka rapat ga jauh dari tempat kami. Sementara aku
mencoba tidur biar sakit kepalaku ga terasa lagi.
Nah, disini Ririn juga lagi pusing sama kerjaannya, jadi setengah
mendengarkan setengah ga. Kami berdua belum memberikan kepastian kalau mau ikut
si open tour ini atau tidak. Juga karena juniornya Bobi kan bakalan nge-handle
kami ya. Takut miss komunikasi nantinya (ini lagi-lagi alasan, aku ga pengen
ikut mereka alasan utamanya)
Ah akan ku tambahkan satu lagi masalah. Ombaknya parah banget sumpah.
Apa itu 22 jam dengan Dobonsolo. 4 jam pertama sama Sangiang aku mual luar
biasa. Ini baru 4 jam, apa kabar sisa 12 jam-nya lagi. Tapi aku menolak minum
antimo. Aku tidak suka efek tidur setelah minum obat.
Sumpah aku rasanya drop banget. Sempat minum obat yang ku minta ke Ririn
untuk ngilangin mual tanpa menimbulkan ngantuk, tapi akhirnya aku jackpot juga
di toilet. Untung toiletnya deket, jadi masih bisa terselamatkan. Aku janji ke
diri sendiri untuk perjalanan balik aku harus minum antimo. Tidur 16 juga bodo
amat dah.
Aku drop sejadi-jadinya, ngeskip makan malam. Bener-bener yang tersiksa
sekali, ditambah kabin kami yang emang ga kondusif sama sekali buat tidur. Ada
aja yang ngobrol padahal udah tengah malam. Rata-rata sih pada mual. Goyang
banget kapalnya.
Dengan penuh perjuangan sampai pagi, akhirnya aku agak mendingan dan
sempat keluar kapal untuk menikmati suasana ketika kapal mulai masuk Banda. Gerimis,
tapi suasananya jadi syahdu. Gila, akhirnya aku sampai juga di pulau ini meski
dengan banyak perjuangan.
Kami berdua sengaja memilih turun agak belakangan, karena malas
desak-desakan di pintu keluar sama porter dan penumpang lain yang mau turun.
Pas lagi siap-siap si guide itu nyusulin kami lagi bilang kalau rombongan lain
udah nunggu. Aku sempat bingung disini, loh kok nungguin? Kami kan ga ngasih kepastian
akan ikut open tour itu. Tapi akhirnya kami ikut beliau juga turun. Meski yang
kami tidak ikut dia pas di luar, kami nyari temennya Bobi.
Turun kapal, Juniornya Bobi udah nunggu. Namanya Adi. Jadi, alih-alih
sama si Guide yang nyusulin kami itu, kami berdua malah ketemu Adi. Dia
akhirnya meminta salah satu temannya yang ada di pelabuhan untuk nganterin aku
pakai motor, dia boncengin Ririn. Sementara si rombongan 5 orang dan si guide
ini jalan kaki. Kok jadi aneh ya, padahal mereka nungguin kami turun biar
bareng-bareng ke penginapan (karena penginapannya sama), kami malah naik motor
dan nyampe duluan.
Sudah ku mention belum kalau penginapan kami kali ini namanya Bintang
Laut. Kalau sudah, tidak apa-apa ya kalau di ulang lagi. Sama Pemiliknya kami
langsung di sambut, ditanyain mau minum apa. Teh atau kopi. Kami berdua memilih
teh. Selagi beliau menyiapkan kamar kami.
Proses Check in di hotel/penginapan biasanya kamu temuin tidak ada
disini. Atau ketika kami,prosesnya tidak ada? Entahlah. Kami tidak diminta
menunjukkan KTP, atau disuruh nunggu karena baru jam 6 pagi sedangkan waktu
check in normalnya tuh jam 2 siang. Tidak ada sama sekali itu, kami malah
langsung disuguhin teh dan jajanan pasar, selagi kamar kami disiapkan.
Selesai dia bertanya, si rombongan 6 orang ini sampai. Kemudian semakin
banyak yang datang. Rata-rata isinya yang di dek 4 sama kami, si mahasiswa
mahasiswi itu.
Mereka udah 5 orang kan ya, datang lagi 5 orang yang bergabung. 10 guys.
Cowok semua. Karena tempat kami deketan, jadi berasa kami ber-12 lagi bahas
rencana hari ini. Padahal aku dan Ririn Cuma lagi nikmatin teh juga kue kami
selagi nunggu kamar siap. Sumpah aku makin ga pengen ikut.
Mereka katanya mau ke Lontoir (dibaca Lontor). Sementara aku dan Ririn
berencana city tour dulu nungguin Adi yang masih kerja dulu. Jam 2 setelah Adi
lepas dinas baru dia nemenin kami jalan-jalan. Jelas udah beda jam-nya, tapi
kami iya-iyain aja tuh mereka bilang jam 10 ngumpul lagi di loby.
Sampai kami dapat kamar, mereka masih dalam proses booking kamar. Jadi
kami berdua langsung masuk, dan istirahat. Sumpah kami butuh istirahat yang
agak lebih layak. Proses nunggu kamarnya ga ada nyampe setengah jam.
Benar-benar pelayanan luar biasa ini Bintang Laut.
Jam 10an kami berdua sudah lebih segar dan sudah siap juga untuk city
tour. Dijemput Adi. Boncengan bertiga, kemudian kami dropin dia di kantornya.
Motornya kami pake. Iya, kami berdua bakalan pake motornya Adi, jadi ga sewa
ya. Jangan tanya berapa biaya sewa motor, aku ga dapat info. Tapi sebenarnya
alih-alih motor, aku menyarankan sewa sepada aja. Neira tuh kecil dan jauh
lebih enak keliling pake sepeda.
Hal pertama yang kami cari begitu ada motor adalah sarapan. Jam 11 tuh
kalau ga salah. Sarapan. Dan sesuai yang disarankan, nasi kuning. Bedanya
disini nasi kuningnya pake kelapa sangrai, ikan, bihun, mie, kerupuk. Banyak
banget topingnya. Seporsinya Rp 10.000,-.
Habis sarapan kami menuju Benteng Belgica. Tapi karena udah mau jam
istirahat, kami disuruh balik lagi jam 3. Lama juga ternyata istirahat mereka
ya, jam 12 sampai jam 3. Tidur siang dulu kali ya.
Dari benteng Belgica kami ke Rumah Pengasingan Bung Hatta. Tutup juga.
Istirahat lagi kayaknya. Pindah ke The House of Captain Christopher Cole, dah
jadi ruang kelas fakultas keguruan dan ilmu pendidikan Universitas Banda Neira.
Sungkan dong kalau masuk.
Pindah lagi ke Istana Mini. Kosong. Pintunya dibuka lebar-lebar. Tapi ga
ada orang. Ngeri juga ya wak kalau sampai ada yang hilang. Ini yang jaga
kayaknya istirahat juga.
Kami memutuskan berhenti dulu sebelum pindah lagi. Bukan karena capek
pindah-pindah mulu. Kami berdua naik motor, dan semua tempat yang aku sebutkan
di atas itu berdekatan, jadi tidak masalah. Masalahnya adalah panas banget.
Setelah 3 hari di ambon, bolak balik di hajar hujan,gerimis dan mendung, agak
kaget juga pas panas banget.
Ada kali 10 menitan kami ngadem, baru ada petugasnya yang datang. Dia
nanya kenapa kami parkir di luar pagar, ga depan istana aja. Ya mana kami tahu
ya kalau bisa parkir di dalam, ini aja ga berani masuk. Akhirnya karena sudah ada petugasnya (dia ga
pake seragam ya), kami akhirnya masuk, nulis nama di buku tamu, masukin duit di
kotak sumbangan (Seikhlasnya), dan kami mulai keliling Istana Mini yang kosong
itu. Sumpah kosong. Satu-satunya isi di dalam itu adalah tulisan di kaca.
Itupun di bagian depan. Bagian belakanganya kosooooongggg.
Menurut si petugasnya sih ruangan-ruangan kosong di bagian belakang
istana mini itu akan dijadikan ruang kelas universitas banda neira juga. Kok
sayang ya.
Karena isinya kosong nih, pada akhirnya kami malah nanya-nanya yang
lain. Sama petugasnya kami ditunjukkin kalau ke Lontoir itu jangan ngambil
jalur yang ke Lontoir, ambil yang Boiyauw terus naik ojek ke atas. Harus ke
Kuburannya siapa gitu, lupa aku, yang Noni Belanda, meninggal di Ambon terus
minta dikebumikan di Banda. Dulu perjalanan kapal tuh katanya lama, nah biar
awet mayat si Noni Belanda ini, dipakelah pala sebagai pengawetnya. Pas nyampe
Banda, dibuatkan 1000 anak tangga menuju kuburannya.
Nah ada 1 lagi, kuburan 1 jengkal. Katanya ada kepercayaan kalau kamu
bisa ngukur jarak satu jengkal ke 4 arah, hatimu bersih. Aku ga gitu dapat
cerita lengkapnya ya, maafkan aku. Aku denger omongan si petugas ini aja.
Sama 1 lagi, sumur Parigi Pusaka. Semuanya ada di 1 Pulau, yaitu Banda
Besar kalau kata orang lokal atau Lonthoir. Entar siang kami bakalan kesana
sama Adi.
Aku lupa bilang, kalau pas kami baru aja masuk Istana Mini sama si
petugasnya, rombongan 10 orang plus guidenya nelpon Ririn. Bilang kalau mereka
udah siap berangkat, kalau kami ikut bakalan ditungguin. Pada akhirnya mereka
disuruh duluan aja. Ya kan emang ga pengen ikut.
Abis ngobrol sama petugasnya, kami pindah tempat, tapi ngisi bensin
dulu. Bensin eceran, harganya Rp17.000,-. Nah pas ngisi bensin ini kami lihat
lorong, yang ternyata adalah pintu masuk ke Benteng Nassau. Tapi tutup lagi.
Buset dah tutup semua.
Pindah lagi ke Rumah Pengasingan Bung Syahrir, pintunya ditutup, tapi
jendelanya di buka, terus kayak ada bunyi TV. Kami manggil-manggil ga ada
orang, pas nanya depannya disuruh panggil yang keras, ya udah kami jadinya
teriak-teriak sampai satu ibu-ibu keluar dan membukakan pintu.
Disini udah ditentuin ya, kalau satu orang bayar Rp 20.000,-. Nulis nama
di buku tamu, terus duitnya masukin kotak. Tapiiiiiiii, rumah pengasingannya ga
dibuka semua. Hanya bagian depan saja, karena bagian belakangnya udah dipake
tinggal ibu ini.
Pas kami tanyain yang rumah budaya sebelahnya tutup juga dimanakah
orangnya yang pegang kunci, katanya rumahnya jauh. Beneran tidur siang kayaknya
orang-orang ini. Pada akhirnya aku memutuskan untuk ngadem bentar di cafe Delfica
yang tepat didepan rumah budaya, karena hp-ku lowbat.
Mau makan siangpun kami baru aja makan nasi kuning. Jadi kami Cuma
memesan juice. Aku numpang ngecharger juga sih, meski pada akhirnya chargernya
ternyata ga masuk sama sekali. Kasian banget.
Nah kami berdua tuh ngambil tempat duduk di depan kan, sama
bapak-bapaknya ditanyain kenapa ga duduk di dalam aja, aku bilang biar sambil
lihatin kapan rumah budaya-nya di buka. Siapa yang sangka kalau bapaknya tuh
kenal yang pegang kunci rumah budaya itu.
Dan siapa yang sangka pula, kalau yang pegang kunci rumah budaya itu
adalah orang yang tinggal di Cafe Delfica ini. Udah bener aku pengen numpang
ngecharger disitu. Lagi-lagi harus bayar Rp20.000,-/orang kalau mau lihat
bagian dalamnya Rumah Budaya ini.
Jam setengah 3-an kami ke kantornya Adi lagi. Dia udah nunggu kami di depan, dan lagi-lagi kami boncengan bertiga menuju pelabuhan. Siap menuju Lonthoir.
Nah, Adi yang warga lokal, juga ngambil arah yang ditunjukin si petugas
itu. Ke Boiyauw bayar Rp 5.000,-/orang, terus naik ojek menuju benteng
Hollandia, biaya ojeknya Rp 10.000,-.
Di benteng Hollandia ada si pohon sejuta umat. Disinilah kami bertemu
rombongan 10 orang itu lagi. Mereka kayaknya udah dari tadi tapi belum semuanya
foto di pohon sejuta umat itu, jadi kami nungguin mereka dulu. Begitu mereka
naik ke Benteng Hollandia yang masih satu kompleks, kami foto di pohon sejuta
umat itu.
Aku ngajakin anak-anak yang lagi disitu juga buat foto. Mereka kenapa
pada ramah-ramah banget sih. Beres foto kami jalan kaki menuju Kubur 1 jengkal
itu. Ga naik ke Benteng Hollandia.
Ini kuburannya beneran di kompleks pekuburan. Asli beneran kek warga
lokal mau ziarah kubur keluarganya sore-sore. Abis dari kuburan 1 jengkal itu,
kami turun ke Parigi Pusaka, minum airnya, dan turun lewat tangga 1000.
Tangganya udah ga lagi berjumlah 1000 sih, udah ada yang kegusur dan
dijadikan aspal. Pas kami nanya dimana kuburan si Noni Belanda, Adi bilang
kuburannya tadi di atas, kenapa ga bilang. Kami udah di bawah dan menuju
pelabuhan lagi. Ya kan kami ga tahu.
Nyebrang lagi untuk balik ke Pulau Neira, bayar Rp 5.000,-/orang.
Boncengan bertiga lagi. Adi mau motornya kami yang bawa aja, karena dia mau
main bola. Kami menolak, dan meminta dia nganterin aja kami ke Benteng Belgica
yang tadi siang tutup. Kami bisa pulang jalan kaki, toh dekat ini.
Di Benteng ini ada biaya masuknya juga, aku lupa, tapi seingatku
seikhlasnya apa Rp 5.000,- gitu. Ga Rp 20.000,- kayak di tempat lain. Konon
tempat ini bagus buat sunsetan. Tapi pas kami disini, mataharinya ketutupan
gunung api.
Ga ketemu sunset, malah ketemu si rombongan 10 orang ini lagi, dan 3
mahasiswi yang sepenginapan sama kami. Mereka terlihat ikrib. Kami berdua agak
melipir meski akhirnya ditanyain guide kami mana. Adi maksudnya. Ditanyain kami
kemana aja. Belakangan kami baru tahu kalau mereka cuma ke Pohon sejuta umat
dan Benteng Hollandia kemudian balik ke Neira, dan kesini Benteng Belgica.
Setelah kami puas foto. Pas mau pulang, mereka menawarkan lagi ikut
bareng mereka hopping Island. Total 12 orang kalau kami ikut. Sewa Kapalnya Rp
900.000,- dan guide-nya Rp 300.000,-. Totalnya Rp 1.200.000,- , nah kalau ber
12, perorangnya kan Cuma Rp 100.000,- tuh. Murah.
Kami masih mempertimbangkan tawaran itu ketika turun. Nah bapak-bapak
yang siang tadi minta kami balik lagi jam 3 karena dia mau istirahat, lagi ada
disitu. Di lantai 1 bentengnya, kemudian dia mulai menjelaskan isi benteng ini.
Gila sampe ada lorong yang tembus ke Benteng Nassau. Dijelasin sejarahnya,
sampai dia bilang kalau di Banda tuh sempat ada peristiwa pembantaian.
Berdasarkan cerita 40 orang Banda Elit di bantai di Sumur dekat Benteng
Nassau itu. Ah aku lupa lagi detailnya karena ga ku catat. Kami jadi yang
paling terakhir di benteng dan keluar bareng bapak-bapak yang jaga karena
mereka masih ngejelasin soal Banda Neira ke kami, sampai waktu bentengnya
ditutup. Mereka mau pulang juga.
Pulangnya kami mampir makan di tempat makan di bawah Benteng. Aku lupa
namanya. Disini aku memesan ayam rempah. Ayam rempahnya enak dan besar. Meski
ga ku habiskan, karena ayamnya benar-benar besar.
Nah lanjut soal kegiatan kami besok. Dibicarakan lah sama Adi di Wa, dan
dia bilang dia bakalan mampir ke penginapan untuk ngebahas ini. Karena Besok,
dia dinas malam. Jadi dia masih nemanin kami jalan.
Adi datang bersama temennya, namanya Yassir ke penginapan. Kami ngobrol
di tempat parkir kapal yang merupakan bagian dalam penginapan Bintang Laut ini.
Nah kami ini kan nyari yang murah meriah ya, ada katanya perahu temennya
tapi tuh perahu temennya yang biasa dipakai melaut. Mau ga kami naik itu, tapi
ga ada tutupnya. Ga worth it dibanding Rp 100.000,- sama si rombongan 10 orang
ini. Mereka pake booth. Tapi sumpah demi apapun, aku ga mau pergi sama mereka.
Aku mending bayar lebih mahal, asal ga sama mereka.
Pas kami lagi ngebahas ini, mereka (si rombongan ini) juga ada di tempat
parkir kapal yang sama. Bedanya kami di kanan, mereka di kiri. Mereka lagi
makan. Sama persis kek tadi pagi pas baru nyampe Bintang Laut.
Ada 1 bapak-bapak yang duduk dekat kami yang merupakan tamu di
penginapan ini juga, akhirnya ikutan ngobrol sama kami, dia bilang kalau dia
mau ke pulau Hatta. Biayanya Rp 1.000.000,- sekali jalan. Ombaknya katanya
bukan untuk pemula, makanya bisa mahal banget ongkosnya. Berarti Rp 2.000.000,-
Cuma untuk ke 1 pulau. Untuk yang ini, aku kayaknya ga dulu deh.
Sementara si rombongan guide ini bilang kalau misalnya cuaca bagus,
mereka bakalan ke Pulau Syahrir, Pulau Hatta, Lafa Flow dan Goa Kelelawar. 2
orang lokal ini (Adi dan Yassir) yang mendengar hal itu, menyangsikan bahwa
rombongan ini bakalan ke Pulau Hatta. Bapaknya yang belakangan ku tahu namanya
Pak Cha, bilang dia bakalan nambahin sih kalau beneran Cuma Rp 900.000,- bisa
sampai Hatta.
Bapaknya juga menawarkan kami ikut kalau misalnya ga punya rencana. Dia
sama satu ibu-ibu lagi yang nginep juga disitu.Rekan kerjanya yang sempat
ngobrol sama Ririn pas aku mandi yang ternyata dari Tondano. Mereka emang harus
ke Hatta, makanya meski sejuta sekali jalan juga dijabanin. Kantor yang bayar
pula. Coba aku gitu juga.
Rapat bubar karena ada kerjaan Ririn yang mendadak harus segera
dikerjakan. Seingatku, sampai akhirnya aku tertidur, kami sebenarnya belum nemu
kesimpulan. Yang aku tahu kami hanya akan ngumpul jam 9. Ke Pulau Syahrir atau
yang orang lokal bilang Pulau Pisang dan Pulau Karaka. Itu aja. Satu yang
pasti, kami ga ikut rombongan itu. Detailnya gimana, besoknya baru akan
kujalani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar