iklan

Rabu, 09 Oktober 2024

Backpacker ke Banda Neira #1

 


Hari ke-4 backpackeran kali ini adalah menuju tujuan utama backpackeran di  part ini. Banda Neira. Kapalnya sih baru mulai berlayar jam 2, tapi kami benar-benar siap untuk naik kapal. Sarapan dulu sih, dimana lagi kalau bukan di Cafe Pelangi. Dah malas nyari yang baru, fokusnya udah ke Banda aja hari itu. Hehe.

Check out, pesan taksi menuju pelabuhan, dan naik kapal Sangiang. Kali ini kapalnya tidak sebesar Dobonsolo, dan jauh lebih teratur kalau menurut aku. Tidak terlalu susah menemukan tempat kami, di dek 4 nomor 12 dan 13.


Kalau Dobonsolo banyakan isinya sama orang tua, kali ini isinya banyakan kaum muda. Kaum muda ga tuh bahasanya. Mahasiswa gitu (aku tahu karena ada yang masih pake almamater), keknya abis ada acara KKN Nusantara gitu gitu denger dari obrolan mereka yang emang pas ngobrol suaranya lumayan keras sih.

Aku sempat keluar lihat pemandangan sebentar kemudian balik-balik Ririn ngenalin orang yang katanya tour guide di Banda, lagi mau open tour. Dia kebetulan janjian sama 2 cowok yang tempatnya di nomor 9 sama 11, yang mana tentu saja deketan sama kami. Masih nungguin 3 orang juga dari Jakarta yang katanya mau ikut tour beliau ini. Jadi ada 5, kalau kami berdua ikut, jadinya ber-7.

Nah, ini kayaknya jadi masalah utama di sepanjang backpacker kali ini. Karena mereka ber-6 adalah orang baru. Hamba yang introvertnya udah mulai ga masuk akal ini, jelas sekali sebenarnya tidak ingin ikut sejak awal. Harganya sih lumayan kalau dibagi 7, tapi kan sebenarnya kalaupun mau ikut open tour ini, pas hopping Island aja sama kayak di Labuan Bajo kemarin bisa aja, selebihnya kan bisa sendiri. Begitulah menurut kami berdua (aku sih lebih pengennya gitu).

Dan satu kebetulan lagi, pas akhirnya 5 orang ini ngumpul plus si guide ini, mereka kan baru mau bicarain tuh rencana mereka bakalan kemana aja selama di Banda, nah saat itu kepalaku sakitnya minta ampun. Udah ku minumin obat biasa yang aku minum tapi malah makin parah. Aku ga tahu kenapa malam itu kepalaku tidak bekerja sama dengan baik, atau sebenarnya dia bekerja sama dengan baik, karena dia ngerti aku emang ga pengen gabung open tour ini.

Jadi aku minta Ririn aja yang ikut rapat. Rapat lah ya namanya, meskipun sepintas yang kulihat tuh Cuma 1 orang dari rombongan Jakarta, 2 orang yang di 9 dan 11 itu, si guide, dan Ririn. Meski samar-samar masih bisa ku dengar obrolan mereka, karena mereka rapat ga jauh dari tempat kami. Sementara aku mencoba tidur biar sakit kepalaku ga terasa lagi.

Nah, disini Ririn juga lagi pusing sama kerjaannya, jadi setengah mendengarkan setengah ga. Kami berdua belum memberikan kepastian kalau mau ikut si open tour ini atau tidak. Juga karena juniornya Bobi kan bakalan nge-handle kami ya. Takut miss komunikasi nantinya (ini lagi-lagi alasan, aku ga pengen ikut mereka alasan utamanya)

Ah akan ku tambahkan satu lagi masalah. Ombaknya parah banget sumpah. Apa itu 22 jam dengan Dobonsolo. 4 jam pertama sama Sangiang aku mual luar biasa. Ini baru 4 jam, apa kabar sisa 12 jam-nya lagi. Tapi aku menolak minum antimo. Aku tidak suka efek tidur setelah minum obat.

Sumpah aku rasanya drop banget. Sempat minum obat yang ku minta ke Ririn untuk ngilangin mual tanpa menimbulkan ngantuk, tapi akhirnya aku jackpot juga di toilet. Untung toiletnya deket, jadi masih bisa terselamatkan. Aku janji ke diri sendiri untuk perjalanan balik aku harus minum antimo. Tidur 16 juga bodo amat dah.

Aku drop sejadi-jadinya, ngeskip makan malam. Bener-bener yang tersiksa sekali, ditambah kabin kami yang emang ga kondusif sama sekali buat tidur. Ada aja yang ngobrol padahal udah tengah malam. Rata-rata sih pada mual. Goyang banget kapalnya.

Dengan penuh perjuangan sampai pagi, akhirnya aku agak mendingan dan sempat keluar kapal untuk menikmati suasana ketika kapal mulai masuk Banda. Gerimis, tapi suasananya jadi syahdu. Gila, akhirnya aku sampai juga di pulau ini meski dengan banyak perjuangan.


Kami berdua sengaja memilih turun agak belakangan, karena malas desak-desakan di pintu keluar sama porter dan penumpang lain yang mau turun. Pas lagi siap-siap si guide itu nyusulin kami lagi bilang kalau rombongan lain udah nunggu. Aku sempat bingung disini, loh kok nungguin? Kami kan ga ngasih kepastian akan ikut open tour itu. Tapi akhirnya kami ikut beliau juga turun. Meski yang kami tidak ikut dia pas di luar, kami nyari temennya Bobi.


Turun kapal, Juniornya Bobi udah nunggu. Namanya Adi. Jadi, alih-alih sama si Guide yang nyusulin kami itu, kami berdua malah ketemu Adi. Dia akhirnya meminta salah satu temannya yang ada di pelabuhan untuk nganterin aku pakai motor, dia boncengin Ririn. Sementara si rombongan 5 orang dan si guide ini jalan kaki. Kok jadi aneh ya, padahal mereka nungguin kami turun biar bareng-bareng ke penginapan (karena penginapannya sama), kami malah naik motor dan nyampe duluan.

Sudah ku mention belum kalau penginapan kami kali ini namanya Bintang Laut. Kalau sudah, tidak apa-apa ya kalau di ulang lagi. Sama Pemiliknya kami langsung di sambut, ditanyain mau minum apa. Teh atau kopi. Kami berdua memilih teh. Selagi beliau menyiapkan kamar kami.

Proses Check in di hotel/penginapan biasanya kamu temuin tidak ada disini. Atau ketika kami,prosesnya tidak ada? Entahlah. Kami tidak diminta menunjukkan KTP, atau disuruh nunggu karena baru jam 6 pagi sedangkan waktu check in normalnya tuh jam 2 siang. Tidak ada sama sekali itu, kami malah langsung disuguhin teh dan jajanan pasar, selagi kamar kami disiapkan.


Selesai dia bertanya, si rombongan 6 orang ini sampai. Kemudian semakin banyak yang datang. Rata-rata isinya yang di dek 4 sama kami, si mahasiswa mahasiswi itu.

Mereka udah 5 orang kan ya, datang lagi 5 orang yang bergabung. 10 guys. Cowok semua. Karena tempat kami deketan, jadi berasa kami ber-12 lagi bahas rencana hari ini. Padahal aku dan Ririn Cuma lagi nikmatin teh juga kue kami selagi nunggu kamar siap. Sumpah aku makin ga pengen ikut.

Mereka katanya mau ke Lontoir (dibaca Lontor). Sementara aku dan Ririn berencana city tour dulu nungguin Adi yang masih kerja dulu. Jam 2 setelah Adi lepas dinas baru dia nemenin kami jalan-jalan. Jelas udah beda jam-nya, tapi kami iya-iyain aja tuh mereka bilang jam 10 ngumpul lagi di loby.

Sampai kami dapat kamar, mereka masih dalam proses booking kamar. Jadi kami berdua langsung masuk, dan istirahat. Sumpah kami butuh istirahat yang agak lebih layak. Proses nunggu kamarnya ga ada nyampe setengah jam. Benar-benar pelayanan luar biasa ini Bintang Laut.

Jam 10an kami berdua sudah lebih segar dan sudah siap juga untuk city tour. Dijemput Adi. Boncengan bertiga, kemudian kami dropin dia di kantornya. Motornya kami pake. Iya, kami berdua bakalan pake motornya Adi, jadi ga sewa ya. Jangan tanya berapa biaya sewa motor, aku ga dapat info. Tapi sebenarnya alih-alih motor, aku menyarankan sewa sepada aja. Neira tuh kecil dan jauh lebih enak keliling pake sepeda.

Hal pertama yang kami cari begitu ada motor adalah sarapan. Jam 11 tuh kalau ga salah. Sarapan. Dan sesuai yang disarankan, nasi kuning. Bedanya disini nasi kuningnya pake kelapa sangrai, ikan, bihun, mie, kerupuk. Banyak banget topingnya. Seporsinya Rp 10.000,-.


Habis sarapan kami menuju Benteng Belgica. Tapi karena udah mau jam istirahat, kami disuruh balik lagi jam 3. Lama juga ternyata istirahat mereka ya, jam 12 sampai jam 3. Tidur siang dulu kali ya.

Dari benteng Belgica kami ke Rumah Pengasingan Bung Hatta. Tutup juga. Istirahat lagi kayaknya. Pindah ke The House of Captain Christopher Cole, dah jadi ruang kelas fakultas keguruan dan ilmu pendidikan Universitas Banda Neira. Sungkan dong kalau masuk.



Pindah lagi ke Istana Mini. Kosong. Pintunya dibuka lebar-lebar. Tapi ga ada orang. Ngeri juga ya wak kalau sampai ada yang hilang. Ini yang jaga kayaknya istirahat juga.



Kami memutuskan berhenti dulu sebelum pindah lagi. Bukan karena capek pindah-pindah mulu. Kami berdua naik motor, dan semua tempat yang aku sebutkan di atas itu berdekatan, jadi tidak masalah. Masalahnya adalah panas banget. Setelah 3 hari di ambon, bolak balik di hajar hujan,gerimis dan mendung, agak kaget juga pas panas banget.

Ada kali 10 menitan kami ngadem, baru ada petugasnya yang datang. Dia nanya kenapa kami parkir di luar pagar, ga depan istana aja. Ya mana kami tahu ya kalau bisa parkir di dalam, ini aja ga berani masuk.  Akhirnya karena sudah ada petugasnya (dia ga pake seragam ya), kami akhirnya masuk, nulis nama di buku tamu, masukin duit di kotak sumbangan (Seikhlasnya), dan kami mulai keliling Istana Mini yang kosong itu. Sumpah kosong. Satu-satunya isi di dalam itu adalah tulisan di kaca. Itupun di bagian depan. Bagian belakanganya kosooooongggg.






Menurut si petugasnya sih ruangan-ruangan kosong di bagian belakang istana mini itu akan dijadikan ruang kelas universitas banda neira juga. Kok sayang ya.

Karena isinya kosong nih, pada akhirnya kami malah nanya-nanya yang lain. Sama petugasnya kami ditunjukkin kalau ke Lontoir itu jangan ngambil jalur yang ke Lontoir, ambil yang Boiyauw terus naik ojek ke atas. Harus ke Kuburannya siapa gitu, lupa aku, yang Noni Belanda, meninggal di Ambon terus minta dikebumikan di Banda. Dulu perjalanan kapal tuh katanya lama, nah biar awet mayat si Noni Belanda ini, dipakelah pala sebagai pengawetnya. Pas nyampe Banda, dibuatkan 1000 anak tangga menuju kuburannya.

Nah ada 1 lagi, kuburan 1 jengkal. Katanya ada kepercayaan kalau kamu bisa ngukur jarak satu jengkal ke 4 arah, hatimu bersih. Aku ga gitu dapat cerita lengkapnya ya, maafkan aku. Aku denger omongan si petugas ini aja.

Sama 1 lagi, sumur Parigi Pusaka. Semuanya ada di 1 Pulau, yaitu Banda Besar kalau kata orang lokal atau Lonthoir. Entar siang kami bakalan kesana sama Adi.

Aku lupa bilang, kalau pas kami baru aja masuk Istana Mini sama si petugasnya, rombongan 10 orang plus guidenya nelpon Ririn. Bilang kalau mereka udah siap berangkat, kalau kami ikut bakalan ditungguin. Pada akhirnya mereka disuruh duluan aja. Ya kan emang ga pengen ikut.

Abis ngobrol sama petugasnya, kami pindah tempat, tapi ngisi bensin dulu. Bensin eceran, harganya Rp17.000,-. Nah pas ngisi bensin ini kami lihat lorong, yang ternyata adalah pintu masuk ke Benteng Nassau. Tapi tutup lagi. Buset dah tutup semua.



Pindah lagi ke Rumah Pengasingan Bung Syahrir, pintunya ditutup, tapi jendelanya di buka, terus kayak ada bunyi TV. Kami manggil-manggil ga ada orang, pas nanya depannya disuruh panggil yang keras, ya udah kami jadinya teriak-teriak sampai satu ibu-ibu keluar dan membukakan pintu.

Disini udah ditentuin ya, kalau satu orang bayar Rp 20.000,-. Nulis nama di buku tamu, terus duitnya masukin kotak. Tapiiiiiiii, rumah pengasingannya ga dibuka semua. Hanya bagian depan saja, karena bagian belakangnya udah dipake tinggal ibu ini.




Pas kami tanyain yang rumah budaya sebelahnya tutup juga dimanakah orangnya yang pegang kunci, katanya rumahnya jauh. Beneran tidur siang kayaknya orang-orang ini. Pada akhirnya aku memutuskan untuk ngadem bentar di cafe Delfica yang tepat didepan rumah budaya, karena hp-ku lowbat.

Mau makan siangpun kami baru aja makan nasi kuning. Jadi kami Cuma memesan juice. Aku numpang ngecharger juga sih, meski pada akhirnya chargernya ternyata ga masuk sama sekali. Kasian banget.

Nah kami berdua tuh ngambil tempat duduk di depan kan, sama bapak-bapaknya ditanyain kenapa ga duduk di dalam aja, aku bilang biar sambil lihatin kapan rumah budaya-nya di buka. Siapa yang sangka kalau bapaknya tuh kenal yang pegang kunci rumah budaya itu.




Dan siapa yang sangka pula, kalau yang pegang kunci rumah budaya itu adalah orang yang tinggal di Cafe Delfica ini. Udah bener aku pengen numpang ngecharger disitu. Lagi-lagi harus bayar Rp20.000,-/orang kalau mau lihat bagian dalamnya Rumah Budaya ini.

Jam setengah 3-an kami ke kantornya Adi lagi. Dia udah nunggu kami di depan, dan lagi-lagi kami boncengan bertiga menuju pelabuhan. Siap menuju Lonthoir.


Nah, Adi yang warga lokal, juga ngambil arah yang ditunjukin si petugas itu. Ke Boiyauw bayar Rp 5.000,-/orang, terus naik ojek menuju benteng Hollandia, biaya ojeknya Rp 10.000,-.

Di benteng Hollandia ada si pohon sejuta umat. Disinilah kami bertemu rombongan 10 orang itu lagi. Mereka kayaknya udah dari tadi tapi belum semuanya foto di pohon sejuta umat itu, jadi kami nungguin mereka dulu. Begitu mereka naik ke Benteng Hollandia yang masih satu kompleks, kami foto di pohon sejuta umat itu.


Aku ngajakin anak-anak yang lagi disitu juga buat foto. Mereka kenapa pada ramah-ramah banget sih. Beres foto kami jalan kaki menuju Kubur 1 jengkal itu. Ga naik ke Benteng Hollandia.

Ini kuburannya beneran di kompleks pekuburan. Asli beneran kek warga lokal mau ziarah kubur keluarganya sore-sore. Abis dari kuburan 1 jengkal itu, kami turun ke Parigi Pusaka, minum airnya, dan turun lewat tangga 1000.


Tangganya udah ga lagi berjumlah 1000 sih, udah ada yang kegusur dan dijadikan aspal. Pas kami nanya dimana kuburan si Noni Belanda, Adi bilang kuburannya tadi di atas, kenapa ga bilang. Kami udah di bawah dan menuju pelabuhan lagi. Ya kan kami ga tahu.

Nyebrang lagi untuk balik ke Pulau Neira, bayar Rp 5.000,-/orang. Boncengan bertiga lagi. Adi mau motornya kami yang bawa aja, karena dia mau main bola. Kami menolak, dan meminta dia nganterin aja kami ke Benteng Belgica yang tadi siang tutup. Kami bisa pulang jalan kaki, toh dekat ini.

Di Benteng ini ada biaya masuknya juga, aku lupa, tapi seingatku seikhlasnya apa Rp 5.000,- gitu. Ga Rp 20.000,- kayak di tempat lain. Konon tempat ini bagus buat sunsetan. Tapi pas kami disini, mataharinya ketutupan gunung api.


Ga ketemu sunset, malah ketemu si rombongan 10 orang ini lagi, dan 3 mahasiswi yang sepenginapan sama kami. Mereka terlihat ikrib. Kami berdua agak melipir meski akhirnya ditanyain guide kami mana. Adi maksudnya. Ditanyain kami kemana aja. Belakangan kami baru tahu kalau mereka cuma ke Pohon sejuta umat dan Benteng Hollandia kemudian balik ke Neira, dan kesini Benteng Belgica.

Setelah kami puas foto. Pas mau pulang, mereka menawarkan lagi ikut bareng mereka hopping Island. Total 12 orang kalau kami ikut. Sewa Kapalnya Rp 900.000,- dan guide-nya Rp 300.000,-. Totalnya Rp 1.200.000,- , nah kalau ber 12, perorangnya kan Cuma Rp 100.000,- tuh. Murah.

Kami masih mempertimbangkan tawaran itu ketika turun. Nah bapak-bapak yang siang tadi minta kami balik lagi jam 3 karena dia mau istirahat, lagi ada disitu. Di lantai 1 bentengnya, kemudian dia mulai menjelaskan isi benteng ini. Gila sampe ada lorong yang tembus ke Benteng Nassau. Dijelasin sejarahnya, sampai dia bilang kalau di Banda tuh sempat ada peristiwa pembantaian.

Berdasarkan cerita 40 orang Banda Elit di bantai di Sumur dekat Benteng Nassau itu. Ah aku lupa lagi detailnya karena ga ku catat. Kami jadi yang paling terakhir di benteng dan keluar bareng bapak-bapak yang jaga karena mereka masih ngejelasin soal Banda Neira ke kami, sampai waktu bentengnya ditutup. Mereka mau pulang juga.

Pulangnya kami mampir makan di tempat makan di bawah Benteng. Aku lupa namanya. Disini aku memesan ayam rempah. Ayam rempahnya enak dan besar. Meski ga ku habiskan, karena ayamnya benar-benar besar.

Nah lanjut soal kegiatan kami besok. Dibicarakan lah sama Adi di Wa, dan dia bilang dia bakalan mampir ke penginapan untuk ngebahas ini. Karena Besok, dia dinas malam. Jadi dia masih nemanin kami jalan.

Adi datang bersama temennya, namanya Yassir ke penginapan. Kami ngobrol di tempat parkir kapal yang merupakan bagian dalam penginapan Bintang Laut ini.

Nah kami ini kan nyari yang murah meriah ya, ada katanya perahu temennya tapi tuh perahu temennya yang biasa dipakai melaut. Mau ga kami naik itu, tapi ga ada tutupnya. Ga worth it dibanding Rp 100.000,- sama si rombongan 10 orang ini. Mereka pake booth. Tapi sumpah demi apapun, aku ga mau pergi sama mereka. Aku mending bayar lebih mahal, asal ga sama mereka.

Pas kami lagi ngebahas ini, mereka (si rombongan ini) juga ada di tempat parkir kapal yang sama. Bedanya kami di kanan, mereka di kiri. Mereka lagi makan. Sama persis kek tadi pagi pas baru nyampe Bintang Laut.

Ada 1 bapak-bapak yang duduk dekat kami yang merupakan tamu di penginapan ini juga, akhirnya ikutan ngobrol sama kami, dia bilang kalau dia mau ke pulau Hatta. Biayanya Rp 1.000.000,- sekali jalan. Ombaknya katanya bukan untuk pemula, makanya bisa mahal banget ongkosnya. Berarti Rp 2.000.000,- Cuma untuk ke 1 pulau. Untuk yang ini, aku kayaknya ga dulu deh.

Sementara si rombongan guide ini bilang kalau misalnya cuaca bagus, mereka bakalan ke Pulau Syahrir, Pulau Hatta, Lafa Flow dan Goa Kelelawar. 2 orang lokal ini (Adi dan Yassir) yang mendengar hal itu, menyangsikan bahwa rombongan ini bakalan ke Pulau Hatta. Bapaknya yang belakangan ku tahu namanya Pak Cha, bilang dia bakalan nambahin sih kalau beneran Cuma Rp 900.000,- bisa sampai Hatta.

Bapaknya juga menawarkan kami ikut kalau misalnya ga punya rencana. Dia sama satu ibu-ibu lagi yang nginep juga disitu.Rekan kerjanya yang sempat ngobrol sama Ririn pas aku mandi yang ternyata dari Tondano. Mereka emang harus ke Hatta, makanya meski sejuta sekali jalan juga dijabanin. Kantor yang bayar pula. Coba aku gitu juga.

Rapat bubar karena ada kerjaan Ririn yang mendadak harus segera dikerjakan. Seingatku, sampai akhirnya aku tertidur, kami sebenarnya belum nemu kesimpulan. Yang aku tahu kami hanya akan ngumpul jam 9. Ke Pulau Syahrir atau yang orang lokal bilang Pulau Pisang dan Pulau Karaka. Itu aja. Satu yang pasti, kami ga ikut rombongan itu. Detailnya gimana, besoknya baru akan kujalani.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar