iklan

Senin, 26 Desember 2016

Pulau Penang ala fit

Penang

Tiba-tiba aku terbangun, entah karena alasan apa. Buru-buru menyesuaikan mata sama suasana yang agak remang-remang. Bus berhenti dan hampir kosong. Mampus, udah nyampe Butterworth. Tanpa pikir panjang aku langsung turun, ngambil barang di bagasi yang sudah siap ditutup supirnya. Fuih.

HUJAN.

Antara takut barang-barangku basah, ngantuk yang masih belum terselesaikan, dan aku di stasiun yang aku tidak tahu sama sekali, hp yang internetnya tidak berfungsi, dan orang-orang yang bahasanya berbeda denganku. Lengkaplah sudah. Maka yang aku pilih adalah duduk, merenungkan nasibku. Hehe, becanda ding, ga juga merenungkan nasibku. Aku lagi memindai Butterworth mencari tahu dimana lokasi loket tiket ferry, aku harus menyeberang ke Penang.

Let’s Get Lost lah..

Pas mulai gerimis, aku jalan, ngikutin selasar dan ketemu mushola. Tapi mushola-nya baru buka jam 5. Maka, aku ke kamar mandi di samping mushola, nyuci muka dan sikat gigi. Setidaknya aku harus kelihatan bersih dan wangi. Aku mandi tadi sore, tidur di bus, dan ga bakalan mandi seharian ini, kecuali aku ketemu shower room di penang nanti, atau kalau aku kepepet aku bisa mandi hujan, dan jelas itu sama sekali bukan pilihan yang akan aku ambil.

Setelah cuci muka, aku masuk ke dalam stasiun Butterworth, langsung menuju lantai atas, beli tiket KTM buat balik ke KL Sentral. Ga lucu kan kalau mesti naik bus 8 jam lagi ke KL Sentral, maka aku memilih KTM, 3 setengah jam juga udah nyampe KL Sentral, duduk dengan nyaman di kereta eksekutif. Haha, kali aja kayak kelas bisnis kereta Indonesia, ada selimutnya sekalian. Kan lumayan. Harga tiketnya RM 59,00.



Setelah memastikan tiket aman, aku langsung memindai kembali stasiun ini nyari tempat ke pelabuhan ferry-nya. Ternyata oh ternyata tuh, dari mushola itu kan depannya udah stasiun butterworth, nah di samping kirinya itu, ikutin aja jalannya, nanti bakalan ketemu loket tiket ferry. Tapi panjangnya...masyaallah aku subuh-subuh, nenteng tas berat, kucel karena belum mandi, dan harus jalan jauh itu sungguh perjuangan banget. Tapi aman kok, sepi sih ga ada orang, karena masih subuh mungkin, tapi ada 1-2 orang penjaga yang bertugas di beberapa belokan, jadi ga usah khawatir, mereka juga ga niat jahat.

Nah, tiket nyebrang tuh RM 1,20. Kalau kamu punya uang recehan, lebih bagus, jadi ga perlu tukerin dulu, karena mesinnya ga nerima duit kertas, harus duit koin. Pas palangnya kebuka, tinggal duduk aja di ruang tunggu, ada wifi-nya. Tapi kalau udah ada kapalnya, ya langsung naik kapal aja. Tenang aja, kapalnya lalu lalang, jadi ga bakalan lama nunggu.

Berhubung nyebrangnya masih gelap, jadi pemandangan yang tersaji adalah lampu-lampu di butterworth dan lampu-lampu di penang. Keluar pelabuhan penang, jalannya podo wae, sami mawon sama jalan di pelabuhan butterworth, lumayan bikin capek. Bedanya, pas keluar pelabuhan yang bakalan kamu lihat adalah terminal bus yang lalu lalang. Rame, ga kayak di butterworth.

Maka bingung lagi yang menghampiri. Kalau kata artikel yang aku baca, kita tinggal jalan lurus aja dari terminal ini dan nyari lebuh chelua, banyak art streetnya, masalahnya adalah, ga ada petunjuk kamu mesti jalan ke kiri atau ke kanan, dan sekarang lagi gerimis.

Akhirnya aku duduk-duduk di tangga penyeberangan, nyari ilham sambil minum milo. Aku lagi-lagi ga bisa browsing, karena hp-ku tidak berfungsi, dan semua jaringan wifi ada kode-nya. Hhh, tiba-tiba aku jadi pengen punya kemampuan hacker. Dan aha, rezeki anak soleh. Aku ngelihat bus CAT. Nanya ke supirnya yang orang India, dan dia bilang itu gratis. Naiklah aku bus itu, tapi asal kalian tahu, aku sama sekali tidak tahu tujuanku kemana. Naik aja, mumpung gratis, lagian aku udah dipelototin supir-supir taksi yang ga nawarin taksi juga ke aku, apa karena aku kelihatan gembel banget yah. Haha. Bodoamat.

Baru berhenti sekali aku ngelewatin lapangan yang ada banyaaaakkkkk banget patung beruang membentuk lingkaran gitu. Nekan bel biar berhenti di halte terdekat, dan aku turun di halte museum. Pintunya masih ditutup. Iyalah, jam setengah 7. Museum mana yang buka. Jadi aku langsung menuju lapangan yang tadi, nenteng-nenteng ransel gede, tas oleh-oleh, saingan sama yang pada lari pagi.



Dengan tampilan habis diusir dari rumah aku ke tengah lapangan itu, mendekati patung-patung beruang dengan berbagai gambar tapi dengan gaya yang sama itu pun mulai sibuk foto-foto, dan aku baru sadar kalau ternyata setiap patung beruang itu mewakili tiap negara, dan aku ada di dekat patung beruang dari Indonesia. Syukurlah, aku tidak harus mengelilingi satu persatu beruang ini dengan kondisi kakiku yang masih lecet parah dan aku yang kucel ini.



Selesai foto-foto, aku kemudian menuju pantai. Gila ya, ke pantai pagi-pagi habis hujan dan agak berangin. Nyari apa? nyari ilham. Beneran. Aku nyari ilham beneran, saking ga ada petunjuk apa-apa disana. Di pinggir pantai aku perhatiin yang lagi bersihin pantai yang rada kotor. Setelah ngerasa udah agak siangan, akupun baranjak balik ke stasiun yang tadi. Capek kalau jalan muter lagi ke museum, mau naik bus gratis aja.

Tinggal satu belokan lagi ke stasiun, aku malah kepikiran buat jalan aja. Toh kakiku masih bisa ‘sedikit’ dipaksa, dan katanya kalau mau nyari art street tuh adanya di pinggir-pinggir jalan gitu, di gang-gang gitu, ya ga mungkin naik bus kan. Nah jalan..jalan, ketemu 1. Ayam-ayam gitu, mulai foto-foto. Selfie. Nasib solo traveller yang ga punya tripod.




Baru 2 atau 3 kali foto ada ibu-ibu india yang bilang kalau di dekat situ ada lukisan ayam gede. Dianterin aku, malah ditawarin buat fotoin. Gila, siapa yang mau nolak. Sayang di sayang, ibuknya ga bisa pake DSLR. Wal hasil aku bolak balik 5 kali mungkin nunjukin caranya, dan masih ga berhasil juga, sampai ada cowok yang lewat, orang india juga, dimintai tolong sama ibuknya buat fotoin aku, dan hasilnya? SAMA! Cowoknya ga bisa pake DSLR juga. Aku yang putus asa dan capek bolak balik jelasin caranya ke posisi buat foto akhirnya menyerah ketika 1 foto akhirnya jadi. Bantuan itu segera bubar jalan meski aku tahu hasilnya tidak bagus. Tapi lumayanlah, daripada aku harus selfie. Ayamnya ga bakalan keambil semuanya.

Melanjutkan nyari art street dan lebuh chelua, aku masih jalan kaki dan pas ketemu lebuh chelua. Hujan guedeeee saudara-saudara, dan aku berteduh di depan rumah makan, pas depan lampu merah. Bayangin dong, aku jadi tontonan orang-orang yang kena lampu merah. Ga lucu banget kan. Maka aku maksain buat pindah tempat, nyari dimana yang namanya kuil.

Setelah keberhasilanku menemukan art street di lebuh lorong che em sepertinya aku mulai beruntung, kecuali soal hujannya yah. Aku menemukan kuil itu dengan mudah. Sedikit foto-foto dan jalan lagi.

 








Kakiku mulai sakit, minta diistirahatkan dengan segera, tapi begitu lihat plang ‘mesjid kapitan keling’ yang miniaturnya udah aku lihat di museum kemaren, aku jadi semangat menuju mesjid ini. Luar biasa mesjid ini baru aja ulang tahun yang ke 215. Dan masih baguuuuuusssss banget, sayang ga bisa masuk. Abis itu, aku udah ga tahan, kakiku sakitnya minta ampun. Bodo amat dengan art street yang masih harus aku cari, kakiku butuh istirahat atau pulang aku diamputasi, maka aku langsung nyari bus CAT balik ke stasiun dan nyari makan, dan ada menu mie acehnya. Aku sampe nungguin tempat makan ini buka karena pengen makan nasi dan ayam. Kali aja ketemu lalapan lagi kayak di melaka sentral kemaren.




Namanya tanjung cafe, persis di pintu masuk keluar pelabuhan. Ayam lalapannya ada sup segala, luar biasa. Leherku merdeka hari ini. Aku bayar RM 5,40 untuk nasi ayam dan air kosong. Dan aku bersiap kembali ke butterworth. Dari penang ke butterworth ga ada loket tiketnya, gratissss. Naik aja langsung ke kapalnya.

Sampai butterworth langsung ke ruang tunggu, nyari colokan. Astaga, colokan disini Cuma 2, dan semuanya dipake. Aku jadi menunggu di dekat colokan biar bisa langsung nge-charge pas ada yang selesai. Bapak-bapak china-nya yang selesai duluan, dan ngelihat gelagat aku mau nge-charger dia buru-buru menyiapkan tempat, dan minjemin tas-nya pula buat alas karena kabelku kependekan. Untuk sopan santun kamipun mulai mengobrol, mulai dari hal-hal sepele, sampai masalah politik dan agama. Dia ngobrol pake bahasa malaysia, dan aku ngobrol pake bahasa indonesia, ketika sama-sama tidak paham maka kami menggunakan bahasa Inggris. Dia sempat memuji presiden Indonesia, bapak Jokowi yang katanya bagus banget. Keren nih presiden-ku.

Hampir jam 3, kami bersiap naik ke kereta. KTM dengan harga RM 59,00 kupikir bakalan sama kayak kelas bisnis kereta indonesia. Hampir sih, tapi aku lebih suka kereta bisnis punya indonesia. ada colokannya, dikasih selimut pula, kalau ini ya biasa aja menurutku. Jauh lebih nyaman sih dari KTM yang beberapa hari ini aku naiki tanpa nomor kursi, tapi...ya gitu. Bagusan kereta bisnis Indonesia ah.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar