iklan

Jumat, 12 April 2019

Backpacker ke Toraja (part 3)

Hari ke-2 di Toraja. Masih belum diputuskan apakah kami (aku dan Ririn) harus mengambil sehari lagi di Toraja atau balik ke makassar. Di ittenerarry Ririn, udah hampir semua sudah kami datangi, tinggal pasar kerbau dan tempat kerajinan. Punyaku ada beberapa.

Yang jadi persoalannya adalah, sekitar magrib gitu udah ga ada tempat yang mau kami datangi. Kenapa? Sekali lagi di Toraja itu kebanyakan wisatanya kuburan. Jadi ga mungkin kami berdua malam-malam ke kuburan. Kalaupun kami bisa ngebut tempat wisata yang tersisa untuk besok pagi, penginapan harus di perpanjang, dan bus baru ada malam. Terus kami ngapain dong? Kan buang-buang duit plus tenaga. Bukan gini cara main Backpacker.

Kalau kemarin kami clueless, hari ke-2 ini lebih parah clueless-nya. Tapi, show must go on. Bisa diurus nanti. Jadilah kami pagi banget sekitar jam 5 atau setengah 6 keluar dari penginapan, ga mandi karena rencananya kita mau ngejar sunset tapi ketiduran. Pas keluar langit masih gelap sih, semoga keburu.

Dengan ingatan kemarin, kami nyampe di jalan masuk ke Lolai-nya. Di pinggir jalan ada petunjukkan. Patokannya jembatan sebelah kanan, terus belok kanan, ikutin aja lah itu jalan naik-naik, naik, naik, naik, ga ada turun-turunnya sama sekali, pokoknya naik terus, pas naik-naik ini kita udah lihat mataharinya ikutan naik juga. Duh semoga masih sempat. Tujuannya Lolai kan, nah...sedikit informasi, di Toraja itu tempat wisatanya berdasarkan tempatnya. Kete kesu itu di Desa Kesu, Londa itu di kampung Londa, dan Lolai negeri di atas awan ini juga di Lolai.

Nah, udah naik-naik kan, terus ketemu tempat yang tulisannya negeri di atas awan. Sampe dong. Parkirin motor. Tapi kok namanya To’tombi ya? Ah bodo amat, matahari udah mulai tinggi itu. Masuk-lah kita berdua. Bayar tiket Rp15.000,-/ orang. Tiket biru. Dan..... astaga, sumpah ini beneran negeri di atas awan. Semacam Sunrise di Bromo, tapi beda-nya di Bromo begitu mataharinya muncul, awannya pada hilang, yang ini sama sekali ga dong. Masih siang, makin awannya tuh nutupin toraja tahu ga sih. Yaallah, cantik banget. Dan sebenarnya salah sih kalau dibilang ngejar sunrise disini, sunrise-nya kalah sama Bromo, tapi sumpah...ini kerennya luar biasaaaaaaaa. Wajib banget kalau datang ke toraja terus datang kesini. 





Disini, aku dan Ririn sedikit lama. Lama banget malahan, ga puas-puasnya buat foto. Pas udah rame sama gank motor dari kalimantan, kita memutuskan untuk pindah. Mencari yang namanya Lolai, Negeri di atas awan. Ternyata tuh, harus naik lagi. Tiket masuknya Rp 15.000,- juga/orang. Beda-nya disini adalah pemandangannya ga Cuma si awan-awan itu, tapi ada bukit di sebelah kiri-nya yang ijo, dan ada papan namanya yang emang dibuat ngehadap ke awan-awan itu.

Pas kami disini, ketemu sama komunitas fotografer dari makassar mungkin yang sibuk fotoin nenek-nenek sama cucunya, tapi benar-benar ga ada petunjuk, itu nenek siapa sampe dijadiin objek foto si fotografer-fotografer ini. Pas kita mau balik, salah satu fotografer ini menawarkan diri untuk ikutan rombongan mereka yang mau ke pasar kerbau, ke tempat kerajinan dan ke batu megalitik. Kamipun menolak dengan halus. Buset, kita berdua belum makan dan belum sarapan. Waktunya kembali ke penginapan untuk sarapan dan mandi.

Selesai mandi, kami sempat ngobrol-ngobrol sama pemilik penginapan, nanyain kalau boleh ga kami nitip tas karena harus check out jam 12. Tapi sama pemiliknya bilang “ga apa-apa kok kak, ga kena charge, itu formalitas aja” Alhamdulillah...berarti aman, kami ga harus packing sekarang. Dan dari pemiliknya ini juga kami tahu kalau ternyata ada kok bus pagi. Tapi bukan primadona, bus lain. Jadi, anggapan kalau ke Toraja itu Cuma bisa malam itu salah besar pemirsa, pagi juga bisa.

Penginapan selesai. Motor belum. Kemarin pas sewa, bilangnya Cuma sehari. Belum bayar sih, tapi jangan sampe ibu-nya ngira kalau motornya kami bawa lari. Dan disini baru dapatlah fakta bahwa sewa motor sehari itu adalah pagi sampe malam harganya Rp100.000,- kalau dibawa sampe pagi jatohnya Rp 150.000,- padahal di penginapan kita udah bilang sewa setengah hari aja, kan kita udah mau balik malam ini. Dan, ajaib-nya adalah ibu-nya Cuma minta Rp 200.000,- dibalikin jam 6 sore. Lebih mahal Rp50.000,- dari prediksi kami sih, tapi ya daripada harus bayar Rp250.000,- lumayanlah. Bensinnya masih ada, tapi buat jaga-jaga ngisinya Rp 15.000,- doang.

Tujuan pertama kami adalah pasar kerbau atau dikenal dengan Pasar Bolu. Pasar ini adanya hari sabtu ya. Dekat banget sama Sesean Guest House. Pasarnya tuh ada di belakang pasar tradisionalnya. Kalau mau kesini bawa masker, dan duit yang banyak karena 1 ekor kerbaunya rata-rata seharga Rp 50.000.000,- iya kamu ga salah hitung nolnya, beneran ada 9. Lima puluh juga. Masker untuk? Selain kerbau yang harganya luar biasa bikin dompet backpackeranku nangis minta ampun, disini kotorannya berserakan dimana-mana. Wajar orang lokal ga pake masker, udah makan mereka sehari-hari ini mah. Lah kita? Asli, ga ada 10 menit kami disini langsung pindah. Tujuan selanjutnya adalah Sa’dan (kampung tenun)

Ini jalannya ga kalah naik-naik kayak Lolai. Tapi yang mengecewakan adalah, udah jauh-jauh datang ke Sa’dan, masuk naik ke atas ke tempat yang ada gerbang pusat tenun, dan zonk saudara-saudara, kerajinannya sih ada di teras rumah 1 orang, tapi... ga ada sama sekali yang ngerjain, ada di depan malah anak kecil lagi nyuci motor, dan makin parah lagi zonk hari ini adalah ban tiba-tiba kempes. Yaallah nyari bengkelnya susah, aku harus jalan sendiri karena susah buat bonceng, ga ditambal karena di bengkelnya ga bisa, ya sudah ganti ban dalam dong. Rp40.000,- ku yang berharga. Kemudian ngejemput ririn dan masih ada 1 tujuan lagi sebelum makan siang, padahal ya udah jam 1 siang. Tujuannya Museum Na’ Gandeng.



Dan lagi-lagi pil kekecewaan itu harus ditelan saudara-saudara. Kami masuk museum, tapi bahkan ga tahu Na’Gandeng itu siapa? Apa? Atau? Asli... kemarin kunci museum-nya dibawa, hari ini ga ada informasi apa-apa di Museum Na’ Gandeng, ya.. hanya ada tongkonan dan rumah 2 tingkat.  Udah itu aja. Tongkonan doang sih di depan penginapan juga ada. Bedanya disini tongkonannya berwarna orange dan lebih kelihatan hidup. Udah itu aja. Ga ada yang spesial.

Udah nih makan? Ya ga.. kecewa karena ga dapat informasi apa-apa di Museum Na’ Gandeng kami melanjutkan perjalan menuju Lokomata. Ini jauhhhhhh lebih gila lagi. Pemandangan sepanjang jalan sih bagus, tapi kok ga nyampe-nyampe, ada kali 20 atau lebih orang yang kami tanyain, bilangnya “Lokomata? Jauh...” duh, asli, ga ada yang bilang dekat. Sampe kita ketemu kuburan di pinggir jalan. Semua keluh kesah itu menguap. Kami mulai sibuk foto-foto di pinggiran jalan. Ga bayar tiker masuk lagi. Isinya ada kuburan, dan beberapa pasangan muda yang pacaran. Kerena meski siang tapi tempatnya lumayan teduh kali ya.






Pulangnya.. ya allah, jalan yang ga da habisnya tadi harus dilewatin lagi. Ga ada jalan pintas. Sampai akhirnya kami tiba kembali di Rantepao, dan makan di Rumah Makan Penyet Ayam Ria. Halal kok. Asli, itu kita makan udah jam 4 kalau ga salah.

Setelah mengisi perut, waktunya beli tiket bus. Dan o..oo, tiket udah ga bisa dibeli via online, harus ke perwakilan. Ya sudahlah, kami akhirnya kesana setelah makan. Bus Rp150.000,- tinggal ada 4 bangku kosong, dan di belakang, ya sudahlah ambil yang itu. Selanjutnya berburu oleh-oleh. Disini, kalau mau nyari oleh-oleh khas toraja datang aja ke pasar pas depan perwakilan Primadona, mau sarung, tas, kopi, kain, patung, miniatur tongkonan, semua-nya ada disini. Beberapa toko yang kami masukin, ga menerapkan sistem tawar menawar meski kamu ngambil banyak. Jadi pinter-pinter kamu aja nyari yang murah.

Beres soal oleh-oleh waktunya balik ke penginapan. Packing. Balikin motor dan ke Perwakilan. Untuk makan malam, kami beli burger di samping perwakilan. Harganya Rp15.000,- dan enakkkkkkk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar