Seperti cerita di
akhir part 1, pagi-pagi keesokan harinya (14-11-2020) sekitar jam 9 pagi, kami
sudah check out dari penginapan itu. Kami sendiri sarapan di tempat
makan sebelah penginapan. Menu khas manado (yang sebenarnya sudah terlalu bosan
untuk ku makan), seperti tinutuan, mie cakalang dan brenebon, ada di tempat
makan ini. Sepertinya tempat makan ini bermitra dengan ojol, karena sementara
kami sarapan, ada beberapa ojol yang datang mengambil pesanan. Itu artinya
makanannya lumayan enak, tapi maaf aku ga bisa ngasih tahu tempatnya karena
begitu ku sebutin namanya, bakalan ketahuan aku nginep dimana.
Ah, sebentar...
sepertinya di part 1 aku lupa menyebutkan bahwa ketika bayar penginapan Rp
200.000,- (dua ratus ribu rupiah), kita diminta untuk deposite Rp 50.000,-
(lima puluh ribu rupiah).
Kembali ke topic, adik
sepupuku makan tinutuan, telur rebus, 2 potong tahu goreng dan teh hangat, sementara aku memesan mie cakalang. Aku ga
pesan minum, karena aku memang bawa botol minumanku sendiri. Less plastic, juga
mengurangi pengeluaran. Iya kan?!
Selesai makan,
totalnya Rp 36.000,-, (tiga puluh enam ribu rupiah) aku ga gitu tahu gimana
perhitungannya ya. Tapi di dekat tempatku tuh biasanya tinutuan ataupun mie
cakalang disajikan standart seharga Rp7.000,- ( tujuh ribu rupiah) per porsi,
malah ada yang masih pakai harga lama Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) per-porsi.
Telur Rp 3.000,- (tiga ribu rupiah), gorengan Rp 1000 (seribu rupiah) atau bisa
Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) dapat tiga, dan teh hangat Rp 5.000,- (lima ribu
per porsi), aku ga gitu tahu detail perhitungan disini, aku ga nanya juga.
Perut sudah terisi,
waktunya menjelajah. Tapi sebelumnya ngisi bensin dulu, semalam kan tutup.
Ngisi sampai penuh Rp 20.000,- .
Karena tempat wisata
yang kami tuju ada di pulau lembeh, maka kami nyari cara menyebrang kesana. Ada
2 alternatif untuk menyeberang dari Bitung ke Lembeh dan sebaliknya, pertama
pakai kapal feri, dan kedua pakai kapal warga. Tarifnya jika bawa motor, dan 2
orang, sama saja. Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah), kalau Cuma orang Rp
5.000,- (lima ribu rupiah) aja.
Karena kami sudah
check out dari hotel, jelas barang-barang kami dibawa serta, juga nanti di
Lembehnya biar lebih gampang, solusinya adalah menyeberangkan Moti. Pilihan
utama kami adalah feri, tapi ketika kami masuk pelabuhan jam 10 pagi, motor udah
ga bisa naik lagi, disarankan untuk naik kapal warga aja. Maka pindahlah kami
ke kapal warga itu, begitu nyampai sana dan ngelihat gimana mereka
menyeberangkan motor, aku langsung ragu. Duh, apa kabar kalau moti tiba-tiba
kenapa-kenapa di tengah laut, bisa dicoret aku dari kartu keluarga.
Jadi kami memutuskan
untuk nunggu feri yang berikutnya aja, jam 12. Balik lagi dong ke pelabuhan
feri. Bayar parkir lagi Rp 5.000,- (lima ribu rupiah), dan karcis buat berdua
Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah). Nunggulah kami di dalam, sebelahnya tempat
kapal masuk, duduk-duduk nikmati minuman botolan dingin yang dijajakan disitu.
Jadi, kami ngelihatin mulai dari kapal feri itu datang, mobil dan motor-motor
pada turun, kemudian 2 mobil naik, dan kapalnya pergi.
Hei... kami apa kabar?
Padahal itu belum jam 12. Kami mikirnya kapal bakalan nunggu jam 12 tepat untuk
pergi dan masih nunggu penumpang yang lain, tidak ternyata saudara-saudara. Kami
2 jam duduk di dalam, Cuma untuk ditinggal kapalnya. Sungguh luar biasa. Untung
aja tiketnya bisa dikembalikan, kalau ga dikembalikan nunggu yang jam 2. Duh,
masa nunggu 2 jam lagi sih. Iya kalau naik, kalau ditinggal lagi gimana. Maka,
pindahlah kami ke tempat kapal warga.
Setelah memastikan
moti udah terikat dengan aman di bagian atas kapal, aku dan adikku duduk di
bagian dalam kapal bersama penumpang-penumpang lainnya. Kalau duduk di motor di
bagian panas, duh panas gila. Entah karena rezekinya naik kapal warga ini, kami
malah sempat jalan-jalan di tengah laut dulu, nganterin ada ABK kapal tengker
yang minta dianterin ke kapal, bukan ke pulau Lembeh.
Mendekati pulau
Lembeh, ada 1 tempat yang langsung menyita perhatian. Tempat itu memang menjadi
tujuan kami, tapi kami ga pernah tahu kalau itu tuh letaknya di pinggiran pulau
banget. monument trikora namanya. Setelah moti diturunkan dari kapal, tanpa
menggunakan maps, kami langsung menuju arahnya. Ketemu setelah nanya sekali,
pas ternyata di pintu masuk monumennya.
Tempat ini sendiri
cukup luas, dan banyak spot fotonya. Bisa ngambil bangkai pesawat, patung
kus-kus, monument trikora-nya, atau bahkan pemandangan laut dengan 2 gunung
yang persis seperti di pecahan uang Rp 1.000 (seribu rupiah) dulu. Disini ga
ada tiket masuknya. Gratis.
Abis dari sini, kami
memutuskan untuk ke pulau Serena. Sempat nanya ke bapak-bapak yang punya kapal
bukan di pelabuhan, dan bapaknya minta Rp500.000 (lima ratus ribu rupiah) untuk
sekali jalan, dengan alasan minyak kesana-nya lumayan. Duh, jiwa backpackeranku
langsung terluka. Buset, harga segitu Cuma untuk ke-1 pulau doang. Maka kami
memutuskan untuk nanya di pelabuhan dulu, kebetulan di pelabuhan ada
petugasnya. Menurutnya sekali jalur tuh tarifnya Rp 150.000,-, aku menyimpulkan
kalau pp berarti Rp300.000,- yah, terus petugasnya manggilin yang punya kapal
gitu, dan setelah negosiasi, kami sepakat di harga Rp 200.000,-, toh kami Cuma foto
doang terus balik, ga berlama-lama. Jadilah kapal yang biasanya ngangkut 3-4
motor dan belasan penumpang itu dipake kami berdua doang ke pulau Serena.
Jumlah segitu,
menurutku worth it. Jaraknya dari pelabuhan ke pulau-nya lumayan. Sekitar
setengah jam. Yang ga worth it itu, bapak yang punya kapal tuh kayak ada janji,
dikit-dikit nanya jam. Sampai di pulau-nya airnya emang lagi pasang, jadi sudah
jelas ga bisa turun, tapi setidaknya bapaknya bisa mengarahkan kapal-nya agar
kami berdua bisa foto dengan baik dan benar. Kenyataannya? Aku dan adekku kayak
dikejar waktu, kapalnya sambil gerak menuju arah pulang, sementara kami harus
bergantian foto. Sumpah, setelah lihat fotonya, susah sekali menemukan foto
bagus, padahal pulaunya cantik banget. setelah ku hitung-hitung Cuma ada 1
fotoku yang lumayan dengan latar pulau serena.
Udah berkejaran dengan
waktu, eh pake acara bensinnya habis. Jadi bapaknya mampir perkampungan dulu
buat beli bensin. Sumpah, lebih lama kami nunggu bapaknya beli bensin,
dibandingkan kami di pulau serena-nya. Sekali lagi perasannku terselamatkan,
karena ada 1 foto yang bisa di-upload sebagai bukti. Lumayanlah ya, daripada ga
ada sama sekali.
Oh iya, moti ga aku
bawa naikin kapal ya. Ditinggal di pelabuhan. Hampir dinaikin ke kapal menuju
bitung sama orang-orang, untung sama adekku sempat di kunci stir-nya.
Abis dari pulau
serena, kami khawatir kalau udah ga ada kapal lagi. Tapi tenyata menurut
petugas disitu, kapalnya terus ada 1x24 jam. Baiklah, kami masih bisa ke 1
tempat lagi di Lembeh. Dan tujuannya jatuh ke Monumen Yesus Memberkati Lembeh.
Sumpah, jalannya naik terus, meski ga se-ekstrem jalan ke buntu burake, tapi
moti ga bisa boong kalau dia udah tua. Dia udah ga sanggup dipake boncengan
naik gunung. 2x aku harus turun dan jalan kaki. Dan tiap kali jalan kaki,
selalu ketemu keluarga petani yang baru saja pulang berkebun. Mereka sekeluarga
jalan kaki. Duh, dasar anak manja. Naik gunung yang dekat-dekat aja capeknya
luar biasa. Gimana mereka yang tiap hari harus naik turun gitu, bawa barang
lagi. Aku, backpack-ku ku taruh moti aja udah ngap-ngapan.
Pelan tapi pasti,
akhirnya sampai juga di Monumen Yesus Memberkati Lembeh. Tiket masuknya
Rp5.000,- / orang. Disini selain bisa menikmati patung Yesus setinggi 29,5
meter dan bentangan tangan selebar 25 meter yang mirip Christo Redentor di
Brasil, kita bisa duduk santai di bagian dekat pintu masuk, menikmati
pemandangan Lembeh dari ketinggian di sore hari.
Setelah menikmati
tempat ini sebentar, berkat petunjuk dari ibu yang jaga tempat ini, kami ga
lagi mengambil jalan sama seperti jalan kami datang, karena menurut ibu-nya ada
jalan yang lebih landai, dan moti masih bisa menaklukannya, aku ga perlu lagi
turun ketika tanjakan. Nah jalan ini ternyata melewati trikora, tempat kami
pertama datang tadi siang.
Sesampainya di
pelabuhan kami langsung naik ke kapal, moti langsung dinaikin, bayar ongkosnya
masih sama Rp 20.000,- untuk 2 orang dan 1 motor. Sekitar 15 menit kami nunggu,
penumpangnya hanya ada beberapa orang. Kapal baru mau berangkat kalau udah
capai 1 jalur, Rp 150.000,- dan kebetulan ada ibu-ibu yang anaknya udah rewel
kapalnya belum juga berangkat padahal anaknya mau buru-buru naik odong-odong,
maka ibu-nya nombokin Rp 70.000,- dan kamipun
berangkat.
moti siap diseberangkan |
Nah, karena udah check
out dari penginapan kemarin, kami pindah ke Fave Hotel. Harga per-malamnya Rp
550.000,-. Duh, jiwa backpackeranku kembali terluka. Aku kalau sendiri, mana
mau nginep harga segitu. Eman-eman cuy. Tapi, apa salahnya mencoba. Jadilah kami
nginep disitu, dikasih kamar di lantai 6. Yang aku suka dari hotel ini, tidak
lagi nyediain botol air mineral gratis di kamar, sebagai gantinya mereka
nyediain 2 dispenser di tiap koridor, ini untuk menghemat penggunaan plastic. Aku
sih lebih senang lagi, aku bisa berulang-ulang ngisi botol minumanku.
Setelah siap-siap,
kami keluar makan malam. Karena tadi siang kami ga makan sama sekali, jadi
malam harus makan besar. Meski kenyataannya aku juga ga berselera-selera banget
untuk makan. Aku memesan dada tuna, sedangkan adikku makan ikan bubara. Kita bisa
memilih ikan untuk di bakar atau di woku. Tempat makannya di RM Bakar Rusni
depan BNI. Bisa di cari via maps, juga pas di depan jalan. Lihat aja tuh yang
banyak mobil mahal parkir, padahal tempatnya sederhana, nah udah disitu
tempatnya.
Dada
tuna+nasi+sayur+sambal 3 macam dibandrol seharga Rp 25.000,-, sedangkan adik
sepupuku yang makan bubara, harganya Rp 85.000,-. Lumayanlah ya.
Setelah kenyang, kami
kembali ke hotel. Kali ini kami tidur dengan perasaan lebih sedikit tenang
daripada yang kemarin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar